Kamis, 23 Maret 2017

ANOMALI SLOGAN CINTAI PRODUK DALAM NEGERI


Di era perdagangan bebas saat ini, keadaan perdagangan Indonesia yang dibanjiri barang-barang impor dari luar semakin mengkhawatirkan. Menurut ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Soetrisno Bachir, “Dengan era global saat ini, banyak sekali produk-produk impor yang tidak bisa kita bendung lagi. Kita harus mencontoh negara yang nasionalismenya tinggi seperti Jepang dan Cina yang mencintai produk-produk dalam negeri”. Himbauan dan slogan-slogan untuk mencintai produk dalam negeri pun semakin digalakkan.

Masyarakat Ekonomi ASEAN yang telah resmi pada 31 Desember 2015 lalu bertujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang kompetitif, kawasan pembangunan ekonomi yang adil dan kawasan yang tergabung dalam ekonomi global, sehingga negara-negara ASEAN sepakat meliberalisasi lima aspek ekonomi, termasuk diantaranya adalah liberalisasi perdagangan barang, yang intinya menghapus hambatan tarif maupun nontarif. Akibatnya, tentu saja mudahnya barang-barang impor masuk ke Indonesia. Menurut data dari kementerian perdagangan, rata-rata impor dari tahun 2011-2015 mencapai $175.325.640.000 yang terdiri dari $39.321.040.000 dari sektor minyak dan gas dan $136.004.580.000 dari sektor non migas dan gas. Tingginya rata-rata impor disebabkan karena 96% dari total barang yang diperdagangkan di ASEAN tarif bea masuk impornya telah 0%. Selain itu, impor juga dimudahkan dengan menghapus hambatan nontarif seperti kebijakan perlindungan makhluk hidup, penetapan standar label, kemasan, dan bahan, lisensi impor, dan juga tidak ada lagi penetapan kuota larangan terbatas. Walhasil, Indonesia diserbu arus deras masuknya barang-barang impor.

MEA yang diharapkan menciptakan iklim perdagangan yang adil, sesungguhnya jauh dari kata adil. Perdagangan bebas justru membuat pemerintah lepas tangan dari melayani rakyatnya dengan membiarkan mekanisme pasar berjalan diatas prinsip hutan rimba, dimana dalam perdagangan bebas ini yang kuatlah yang menang. Dengan adanya MEA, persaingan produk Indonesia dan produk impor menjadi tak terelakkan. Prinsip yang berlaku sama seperti di hutan rimba, yang terkuatlah yang akan memenangi pasar. Slogan cintai produk dalam negeri mungkin terdengar manis dan berharap dengan menggelorakan slogan itu, bisa meningkatkan minat orang-orang Indonesia terhadap produk dalam negeri mereka, namun sayangnya, merebaknya barang-barang impor bukan melulu persoalan nasionalisme masyarakat.

Para produsen dalam negeri mungkin terdorong meningkatkan daya saing di era perdagangan bebas ini, namun kebijakan pemerintah memegang peranan penting dalam hal itu. Bagaimana mungkin bisa meningkatkan daya saing, jika harga energi mahal, infrastruktur buruk, modal yang sulit diakses, dan biaya pajak tinggi ? Sedangkan produsen luar justru memiliki daya saing tinggi sebab ditopang oleh kuatnya dukungan pemerintah mereka. Misalnya Cina yang membebaskan pajak pada tahun pertama produksi suatu pabrik bahkan malah mensubsidi setiap jumlah barang yang diproduksi pabrik itu, sehingga harga jual produknya menjadi murah.

Dengan adanya MEA, membuka peluang yang besar bagi produk luar untuk masuk dipasarkan ke Indonesia dan bersaing dengan produk dalam negeri yang daya saingnya rendah, tentu saja, barang-barang dengan daya saing tinggi baik dari segi kualitas maupun harga lah yang berpeluang besar memenangi pasar dalam negeri. Jika sudah begitu, yang dirugikan adalah produsen-produsen dalam negeri. Maka wajar, sejak diberlakukannya MEA, barang-barang impor semakin membanjiri pasar Indonesia yang menyebabkan barang-barang produksi dalam negeri semakin terpinggirkan. Turunnya permintaan terhadap produksi dalam negeri menyebabkan masalah yang lebih krusial lagi, yaitu industri-industri dalam negeri terancam gulung tikar yang menyebabkan pekerja-pekerjanya di PHK.

“Cinta produk dalam negeri wujud nasionalisme” merupakan slogan yang digelorakan dalam rangka menolong produk-produk Indonesia agar mampu tetap eksis di negeri sendiri. Namun slogan itu tak lain hanya sekedar slogan pelipur lara. Anomali tentu saja, jika mengajak mencintai produk dalam negeri namun disaat yang sama membuka peluang yang besar bagi impor barang dari luar negeri. Slogan ini bertentangan dengan kebijakan MEA yang mendukung impor tanpa batas.

MEA hakikatnya wujud meminimalkan bahkan menghilangkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyatnya, lalu membiarkan semuanya berjalan sesuai kehendak mekanisme pasar. Ini jelas bertentangan dengan Islam yang menetapkan bahwa pemerintah itu wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya. Rasulullah bersabda “Pemerintah adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka” (HR Muslim). Dalam Islam, negara tidak boleh lepas tangan dalam mengatur hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain. Sehingga perdagangan luar negeri tidak boleh dibiarkan bebas tanpa adanya kontrol negara. Liberalisasi perdagangan justru menjadi alat penjajahan yang membawa potensi ancaman dan bahaya yang besar.

Banjirnya produk-produk impor di dalam negeri tidak akan bisa diatasi hanya dengan slogan-slogan maupun jargon-jargon bernafaskan nasionalisme, karena pemicu masalahnya adalah MEA dan liberalisasi. Jika pemerintah serius ingin menyejahterakan rakyatnya, tentu tidak ada jalan lain kecuali melepaskan diri dari cengkraman liberalisme dan menerapkan Islam secara menyeluruh. Wallahu’alam bi ash-shawab. [Ashwa Rin]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar