Di era perdagangan
bebas saat ini, keadaan perdagangan Indonesia yang dibanjiri barang-barang
impor dari luar semakin mengkhawatirkan. Menurut ketua Komite Ekonomi dan
Industri Nasional, Soetrisno Bachir, “Dengan era global saat ini, banyak sekali
produk-produk impor yang tidak bisa kita bendung lagi. Kita harus mencontoh
negara yang nasionalismenya tinggi seperti Jepang dan Cina yang mencintai
produk-produk dalam negeri”. Himbauan dan slogan-slogan untuk mencintai produk dalam
negeri pun semakin digalakkan.
Masyarakat
Ekonomi ASEAN yang telah resmi pada 31 Desember 2015 lalu bertujuan untuk
menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan
ekonomi yang kompetitif, kawasan pembangunan ekonomi yang adil dan kawasan yang
tergabung dalam ekonomi global, sehingga negara-negara ASEAN sepakat
meliberalisasi lima aspek ekonomi, termasuk diantaranya adalah liberalisasi
perdagangan barang, yang intinya menghapus hambatan tarif maupun nontarif.
Akibatnya, tentu saja mudahnya barang-barang impor masuk ke Indonesia. Menurut
data dari kementerian perdagangan, rata-rata impor dari tahun 2011-2015
mencapai $175.325.640.000 yang terdiri dari $39.321.040.000 dari sektor minyak
dan gas dan $136.004.580.000 dari sektor non migas dan gas. Tingginya rata-rata
impor disebabkan karena 96% dari total barang yang diperdagangkan di ASEAN
tarif bea masuk impornya telah 0%. Selain itu, impor juga dimudahkan dengan
menghapus hambatan nontarif seperti kebijakan perlindungan makhluk hidup,
penetapan standar label, kemasan, dan bahan, lisensi impor, dan juga tidak ada
lagi penetapan kuota larangan terbatas. Walhasil, Indonesia diserbu arus deras
masuknya barang-barang impor.
MEA yang
diharapkan menciptakan iklim perdagangan yang adil, sesungguhnya jauh dari kata
adil. Perdagangan bebas justru membuat pemerintah lepas tangan dari melayani
rakyatnya dengan membiarkan mekanisme pasar berjalan diatas prinsip hutan
rimba, dimana dalam perdagangan bebas ini yang kuatlah yang menang. Dengan
adanya MEA, persaingan produk Indonesia dan produk impor menjadi tak
terelakkan. Prinsip yang berlaku sama seperti di hutan rimba, yang terkuatlah
yang akan memenangi pasar. Slogan cintai produk dalam negeri mungkin terdengar
manis dan berharap dengan menggelorakan slogan itu, bisa meningkatkan minat
orang-orang Indonesia terhadap produk dalam negeri mereka, namun sayangnya,
merebaknya barang-barang impor bukan melulu persoalan nasionalisme masyarakat.
Para produsen
dalam negeri mungkin terdorong meningkatkan daya saing di era perdagangan bebas
ini, namun kebijakan pemerintah memegang peranan penting dalam hal itu.
Bagaimana mungkin bisa meningkatkan daya saing, jika harga energi mahal,
infrastruktur buruk, modal yang sulit diakses, dan biaya pajak tinggi ?
Sedangkan produsen luar justru memiliki daya saing tinggi sebab ditopang oleh
kuatnya dukungan pemerintah mereka. Misalnya Cina yang membebaskan pajak pada
tahun pertama produksi suatu pabrik bahkan malah mensubsidi setiap jumlah
barang yang diproduksi pabrik itu, sehingga harga jual produknya menjadi murah.
Dengan adanya
MEA, membuka peluang yang besar bagi produk luar untuk masuk dipasarkan ke
Indonesia dan bersaing dengan produk dalam negeri yang daya saingnya rendah,
tentu saja, barang-barang dengan daya saing tinggi baik dari segi kualitas
maupun harga lah yang berpeluang besar memenangi pasar dalam negeri. Jika sudah
begitu, yang dirugikan adalah produsen-produsen dalam negeri. Maka wajar, sejak
diberlakukannya MEA, barang-barang impor semakin membanjiri pasar Indonesia
yang menyebabkan barang-barang produksi dalam negeri semakin terpinggirkan.
Turunnya permintaan terhadap produksi dalam negeri menyebabkan masalah yang
lebih krusial lagi, yaitu industri-industri dalam negeri terancam gulung tikar
yang menyebabkan pekerja-pekerjanya di PHK.
“Cinta produk
dalam negeri wujud nasionalisme” merupakan slogan yang digelorakan dalam rangka
menolong produk-produk Indonesia agar mampu tetap eksis di negeri sendiri.
Namun slogan itu tak lain hanya sekedar slogan pelipur lara. Anomali tentu
saja, jika mengajak mencintai produk dalam negeri namun disaat yang sama
membuka peluang yang besar bagi impor barang dari luar negeri. Slogan ini
bertentangan dengan kebijakan MEA yang mendukung impor tanpa batas.
MEA hakikatnya
wujud meminimalkan bahkan menghilangkan peran dan tanggung jawab pemerintah
dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyatnya, lalu membiarkan semuanya
berjalan sesuai kehendak mekanisme pasar. Ini jelas bertentangan dengan Islam
yang menetapkan bahwa pemerintah itu wajib bertanggung jawab atas seluruh
urusan rakyatnya. Rasulullah bersabda “Pemerintah
adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka” (HR
Muslim). Dalam Islam, negara tidak boleh lepas tangan dalam mengatur hubungan
dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat
negara lain. Sehingga perdagangan luar negeri tidak boleh dibiarkan bebas tanpa
adanya kontrol negara. Liberalisasi perdagangan justru menjadi alat penjajahan
yang membawa potensi ancaman dan bahaya yang besar.
Banjirnya produk-produk
impor di dalam negeri tidak akan bisa diatasi hanya dengan slogan-slogan maupun
jargon-jargon bernafaskan nasionalisme, karena pemicu masalahnya adalah MEA dan
liberalisasi. Jika pemerintah serius ingin menyejahterakan rakyatnya, tentu
tidak ada jalan lain kecuali melepaskan diri dari cengkraman liberalisme dan
menerapkan Islam secara menyeluruh. Wallahu’alam bi ash-shawab. [Ashwa Rin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar