Kamis, 23 Maret 2017

RITUAL CHAUPADI (Tradisi Hindu Mengasingkan Wanita yang Mengalami Menstruasi di Nepal)

Isu-isu perempuan memang selalu menjadi topik pembicaraan yang tetap hot, tak lekang oleh waktu. Kali ini Rin akan berbagi cerita bagaimana kondisi para perempuan di Nepal akibat anggapan yang keliru tentang wanita.

Diskriminasi Wanita yang Menstruasi.

Di Nepal, ada keyakinan tentang kenajisan darah menstruasi yang membuat para wanita dan gadis diasingkan di gubuk pengasingan. Di masa-masa menstruasi mereka diasingkan, dilarang memasuki dapur, apalagi mengikuti perayaan-perayaan keagamaan.
Gubuk Pengasingan di Nepal (Fotografi oleh Poulomi Basu)

       Wanita mengalami situasi ekstrim di daerah-daerah pedesaan dengan menanggung pengasingan ini satu minggu setiap bulannya selama 35 sampai 45 tahun siklus menstruasi mereka. Mereka dipandang tidak bersih, tidak boleh disentuh, dan membawa bencana bagi orang-orang, ternak, dan tanah, ketika mereka haid. Mereka pun diasingkan keluar dari rumah-rumah mereka. Beberapa tinggal di gudang terdekat, sementara  yang lain harus berjalan kaki 10-15 menit dari rumah menuju gubuk kecil di dalam hutan lebat. Dalam pengasingan, mereka seringkali harus harus menghadapi kematian akibat suhu yang sangat panas, sesak dari api yang sebenarnya dinyalakan untuk menjaga mereka tetap hangat selama musim dingin, racun ular kobra, dan pemerkosaan.

Penyembuhan tradisional perempuan yang sakit selama masa menstruasi
(Fotografi oleh Poulomi Basu)

Umum kita ketahui, bahwa di masa-masa haid, wanita seringkali mengalami nyeri haid atau bahkan sampai demam. Di Nepal, penyembuhan tradisional sering menggunakan kekerasan verbal dan fisik yang ekstrim untuk menyembuhkan  para gadis muda yang sakit selama menstruasi ini, karena meyakini bahwa mereka dirasuki oleh roh jahat. Para dukun pun bertugas melakukan ritual penyembuhan.

Pengucilan para Janda

Selain dari pengasingan wanita yang mengalami menstruasi, tradisi kebudayaan Hindu di Nepal juga mengucilkan para wanita yang kehilangan suami mereka (red: mati). Tradisi memerintahkan para janda hanya memakai sari berwarna putih (simbol duka dan kematian) selama sisa hidup mereka. Mereka  pun dilarang menghadiri perayaan atau menikah lagi. Kematian suami berarti wanita harus menderita karena dosa-dosa  yang dilakukannya di kehidupan sebelumnya. Janda dianggap simbol kesialan dan pembawa petaka sehingga dianggap harus dikucilkan dari masyarakat.

Why?

Tidak sedikit masalah diskriminasi dan pengucilan perempuan akibat agama, keyakinan, tradisi, dan budaya tertentu. Hal itu tidak lepas dari pandangan mereka terhadap perempuan.  Beberapa ahli memandang ini adalah akibat penerapan sistem patriarki di masyarakat, tapi apakah akan ada bedanya jika yang diterapkan itu sistem matriarki ?  Sejarah membuktikan para nazi wanita juga sangat kejam dan sadis, sedikit contoh ketika wanita memegang kekuasaan. Bahkan Catherine the Great dari Rusia juga bukan wanita yang baik, dari sisi pemegang kekuasaan.

Kemudian muncul gagasan kesetaraan gender (gender equality) yang diperjuangkan oleh para pegiat feminis yang menuntut penyetaraan perempuan dengan laki-laki. Semuanya dilatarbelakangi diskriminasi yang dialami para wanita. Gagasan ini memprovokasi para wanita agar mensejajarkan diri dengan laki-laki, sehingga perannya sebagai ibu dianggap sebagai beban dan penghambat kemandirian. Hasilnya perlahan para wanita bergerak semakin jauh meninggalkan kodratnya sebagai istri dan ibu. Kesetaraan gender dianggap solusi membebaskan perempuan dari berbagai penindasan. Namun, sebenarnya tanpa sadar justru memunculkan masalah lainnya. Di negara barat sebagai pengekspor ide gender, Inggris dan AS, angka perceraian sangat tinggi, angka kelahiran pun semakin turun tiap tahunnya akibat para wanita enggan memiliki anak bahkan banyak yang tidak ingin menikah karena tidak ingin menghambat kesibukannya sebagai wanita karir.

Jika sistem masyarakat matriarki ataupun kesetaraan gender bukan solusi masalah penindasan perempuan, lantas apa solusinya?

Masalah penindasan perempuan berangkat dari anggapan yang salah tentang perempuan. Sebelum Islam datang, masyarakat arab menganggap kelahiran bayi perempuan sebagai aib. Praktek penguburan bayi perempuan hidup-hidup pun menjadi marak dan biasa di  tengah-tengah masyarakat jahiliyah. Ketika Islam datang, ayat-ayat Al-Quran mengungkap segala kebobrokan perilaku jahiliyah orang-orang Arab, serta membawa pemahaman yang benar tentang wanita dan perannya yang mulia sebagai pendidik generasi. Di masa islam lah, perempuan ditempatkan pada posisi yang mulia, bukan sebagai saingan lelaki, tetapi sebagai partner dalam menjalankan kehidupan.


Adanya penindasan, diskriminasi, pengucilan yang dilakukan suatu kepercayaan atau tradisi menunjukkan bahwa keyakinan mereka justru jauh menyimpang dari fitrah manusia dan tentunya bertentangan dengan akal dan ilmu. Maka patutlah Allah selalu memerintahkan kita dalam banyak ayat di Al-Quran untuk senantiasa berpikir, tanpa berpikir manusia hanya akan jatuh dalam kufarat dan anggapan-anggapan salah. Semua ini karena hanya mengandalkan persaan semata, dan tradisi melanjutkan apa yang telah dilakukan secara turun temurun, entah nenek moyangnya salah atau benar. Jika mau mencerabut masalah-masalah pengucilan, diskriminasi, dan penindasan wanita, caranya tidak lain dan tidak bukan, kembali kepada aturan yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT. Wallahua’lam bi ash-shawab. [Ashwa Rin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar