Kamis, 17 Agustus 2017

Menapaki Rengasdengklok

Rumah Penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok

Menjelang hari kemerdekaan biasanya situs-situs sejarah kemerdekaan ramai dikunjungi. Kali ini aku berkesempatan mengunjungi teman ibuku di Cikampek, Jawa Barat, untuk menginap selama 2 hari. Saat melihat-lihat maps kebetulan aku melihat nama daerah yang tidak asing diingatanku. Rengasdengklok, nama yang sering muncul di buku-buku pelajaran sejarah jaman sekolah dulu. Ya inilah nama kota yang menjadi saksi perjalanan proklamasi kemerdekaan Indonesia dan diabadikan dalam catatan sejarah sebagai peristiwa Rengasdengklok. Secara rilnya, disinilah pertama kali kemerdekaan itu diproklamasikan.

Aku segera berselancar di internet untuk mencari apa saja yang mungkin bisa aku temui disana. Esoknya dengan mengendarai sepeda motor aku bersama anak dari teman ibuku itu menuju ke Rengasdengklok, di daerah Karawang. Tujuanku ada 3 tempat yang ingin ku kunjungi, yaitu pengasingan/rumah penculikan Soekarno Hatta, Tugu Perjuangan dan  Monumen Kebulatan Tekad.

Di rumah pengasingan, kami disambut oleh cucu Djiauw Kie Siong, yaitu Djiauw Kim Moy. Rumah ini adalah milik Djiauw Kie Siong, seorang pasukan pembela tanah air atau yang dikenal dengan PETA. Kami pun melihat-lihat isi rumah ini, ada dua kamar yang pada peristiwa Rengasdengklok masing-masing dipakai menginap oleh Soekarno dan M. Hatta. Ruang tengah menampilkan banyak foto-foto sejarah dan berbagai penghargaan ditujukan kepada situs sejarah ini. Setelah bertandang ke rumah pengasingan, kami pun menuju Lokasi Tugu Perjuangan dan Monumen Kebulatan Tekad yang tidak jauh dari rumah pengasingan. Lokasi Tugu Perjuangan dulunya merupakan markas PETA. Saat aku baru saja masuk ke lokasi tugu, seseorang menghampiriku dan berbicara kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti karena cara bicaranya yang cepat sekali. Hingga temanku menjelaskan apa yang dikatakan orang itu bahwa kami harus membayar jika ingin mengambil foto di lokasi. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, 50 ribu. Oh well, aku mengurungkan niatku untuk mengambil foto. Selanjutnya kami menuju monumen yang hanya beberapa meter dari lokasi tugu.

Tempat tidur yang digunakan Soekarno

Ruang tengah

Kamar Moh. Hatta


Perjalananku kali ini menelusuri peninggalan-peninggalan sejarah proklamasi kemerdekaan bukan hanya sekedar traveling mengisi waktu luang, bukan. Aku ingin tau, ingin merasakan apa yang pernah terjadi di masa lalu. Sekelebat bayangan imajinasi bagaimana semua peristiwa itu terangkai mengisi ruang pikiranku. Kita mempelajari sejarah kemerdekaan sejak duduk di bangku SD, tapi apakah kemerdekaan itu sesungguhnya masih belumlah terjawab. Apakah kemerdekaan itu hanya berupa proklamasi, mengusir penjajah dari negeri kita, dan menempatkan orang-orang kita sendiri seolah mengatur dan menjalankan pemerintahan ? Jujur saja, agaknya ada yang ganjil saat membaca kisah-kisah kemerdekaan di berbagai negara.

Dunia sungguh berubah dengan cepat. Yang dulunya dikuasai oleh imperium-imperium besar, lambat laun sejarah berubah, hingga membagi dunia menjadi dua domain utama, yaitu Kekhilafahan Islam yang membentang sejauh 2/3 bagian dunia dan sisanya yaitu kekuasaan non-Islam. Setelah melewati 14 abad, Kekhilafahan runtuh, dunia pun kemudian dikuasai kolonialisme, negeri-negeri yang kuat menjajah negeri-negeri yang lebih lemah, dunia berjalan bak di hutan rimba. Selanjutnya dunia berubah lagi, satu demi satu negeri yang tadinya mengalami penjajahan mulai berondong-bondong memproklamirkan kemerdekaan. Hingga saat ini, masing-masing negara menggenggam kemerdekaannya sendiri-sendiri dan mengklaim sebagai negara yang berdaulat. Begitupun Indonesia, 17 Agustus menjadi simbol kemerdekaan, tetapi pertanyaannya benarkah Indonesia telah merdeka ? Apakah bisa disebut merdeka jika negeri ini menanggung utang yang banyak ? Apakah bisa disebut merdeka jika kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk kepentingan asing ? Apakah bisa disebut merdeka jika hampir 80% kekayaan alam Indonesia dikuasai asing ? Ah, masih terlalu banyak pertanyaan apakah layak disebut merdeka. Tiap 17 Agustus semua bersorak sorai gembira, tapi aku sendiri tidak yakin tentang apa yang harus digembirakan saat semua justru mengindikasikan hal yang sebaliknya. Kita harus membuka mata dan pikiran dalam memaknai penjajahan, bukan hanya soalan penjajahan fisik tapi non-fisik pula. [Ashwa Rin]

Monumen Kebulatan Tekad




Tidak ada komentar:

Posting Komentar